FILSAFAT PENDIDIKAN
A.
Sejarah
Pemikiran Filsafat
Selama
manusia bertanya tentang dunia, selama itu pula manusia diganggu oleh misteri
karena sifat manusia selalu ingin tahu. Oleh karenanya, disini komunikasi
sebagai sentral ilmu perilaku manusia. Semua ahli filsafat, baik filsafat Barat
(Sekuler) maupun filsafat Timur (Islam) mengakui bahwa komunikasi merupakan
kekuatan yang mengagumkan dalam mengubah manusia dan peradabannya.
Pikiran dan rasionalitas manusia merupakan
kemampuan unik yang membedakan manusia dan binatang. Kemampuan manusia
berkomunikasi bukan sekedar pembeda manusia dan hewan, melainkan pencarian
kebenaran, yang mengacu pada Al-Quran dan As-Sunnah, yang lebih komprehensif,
di sini, terdapat perbedaan antara pemikiran filsafat Barat (Sekuler) dan
pemikiran filsafar Timur (Islam). Berikut akan diuraikan secara singkat kedua sejarah pemikiran
tersebut.
Filsafat
yunani klasik merupakan awal dari permulaan pemikiran filsafat atau pembahasan
masalah filsafat secara kulatif rasional, dan tidak irasional dogmatis.
Filsafat yunani merupakan contoh ilustrasi pemikiran dan pembahsan masalah
filsafat secara sistematis dan lengkap berlaku sampai sekarang. Pada dasarnya
pemikir-pemikir filsafat saat ini merupakan komentator filsafat yunani klasik
dan menyesuaikan dasar-dasar pemikiran tokoh klasik dengan tuntutan zaman dan
perkembangan kebudayaan.
Menurut
Mudyahardjo dalam Kajian Filosofis Otonomi Daerah Bidang Pendidikan (2010)
Filsafat sejarah adalah filsafat yang membicarakan masalah metafisika sejarah
yang berkenaan dengan latar belakang, sebab-sebab dan hukum-hukum yang
mendasar, makna dan motivasi perkembangan manusia sebagai makhluk sosial dan
dalam batas-batas kausalitas psikofisik, serta logika sejarah yang berkenaan
dengan perkembangan sejarah.
B.
Mengapa
Sejarah Filsafat?
Sebagai jawaban pertanyaan diatas, yaitu
mengapa harus mempelajari filsafat klasik, maka di bawah ini diajukan sejumlah
dasar alasannya.
1. Filsafat
juga sebagai ilmu pengetahuan seperti juga ilmu pengetahuan yang lain, biasanya
dipelajari melalui dua segi yaitu segi sejarah dan segi segi filsafat
sistematis.
2. Bahwa
sejarah filsafat dipelajari dengan tujuan agar diperoleh apa yang menjadi
masalah pokok filsafat dan sejarah perkembangan pemikiran filsafat.
3. Bahwa
mempelajari sejarah filsafat menyadarkan kita bahwa ajaran yang baik belum
tentu diterapkan dengan baik, oleh sebab waktu dan tempat belum cukup masak
memberikan dukungan pelaksanaannya.
4. Bahwa
teori yang baik dipraktekan dengan baik menstimulir kita untuk mengujicobakan
sampai berhasil pada zaman kita.
5. Bahwa
mempelajari sejarah filsafat menyadarkan kita bahwa setiap teori ada kelemahan
dan kebaikannya, karena itu menuntut adanya kerja sama antara sesama pengusaha
filsafat, saling memberi dan menerima, dalam rangka kepentingan bersama, demi
kesejahteraan umat manusia.
6. Bahwa
sejarah filsafat menyadarkan kita bahwa bukan kita saja yang mempelajari dan mempersoalkan
masalah filsafat, tetapi orang kuno juga telah melakukannya dan bahkan lebih
maju dari kita.
C.
Periodesasi
Filsafat Yunani Klasik
Sistematis periodesasi,
masalah-masalah yang dihadapi diajukan mendahului pembahasan masing tokoh dan
ajarannya, dan ini dengan maksud untuk lebih jelas memberikan gambaran umum
tentang ilmu filsafat, yang sampai saat ini masih dianggap sebagai induk dari
cabang-cabang ilmu pengetahuan yang lain.dua hal yang perlu mendapat perhatian
adalah pertama tentang penulisan tahun perkembangan pemikiran atau ajaran dan
penulisan nama-nama tokoh yang nampaknya terdapat tidak keseragaman di antara
sumber-sumber kepustakaan yang digunakan.
Adapun sistematika
singkatan periodesasi tersebut dapat dilihat d ibawah ini :
1. Periode
Pra-Sofis
Filosofi Alam.
a. Thales
b. Anamimander
c. Anaximenes
d. Pythagoras
Filsafat
Perubahan
a. Heraclitus
Filsafat
Eleat
a. Xenophanes
b. Parmenides
c. Zeno
d. Melissos
2. Sofisme
a. Protagoras
b. Gorgias
3. Filosofi
Alam II
4. Periode
Filosofi Klasik
a. Sokrates
b. Plato
c. Aristoteles
5. Filsafat
Agama
D.
Sejarah
Pemikiran Filsafat Barat (Sekuler)
1.
Periode
Filosofi Alam
Sejarah
filsafat di dunia barat diawali dengan masa filosofi alam. Tokoh yang terkenal
pada masa ini adalah Thales (625-545 SM) yang terkenal dengan pemikirannya,
“semuanya berasal dari air”. Air menjadi pangkal, pokok, dan dasar dari
segalanya yang ada di alam semesta (Praja, 2005: 71-75). Berkat kekuatan dan
daya kreatifnya sendiri, tanpa ada sebab-sebab diluar dirinya, air mampu tampil
dalam segala bentuk, bersifat mantap, dan tak terbianasakan (Simon petrus,
2004:21-23).
Argumentasi
Thales terhadap pandangan tersebut adalah bagaimana bahan makanan semua makhluk
hidup mengandung air dan bagaimana semua makhuk hidup juga memerlukan air untuk
hidup (Barnes,2001). Selain itu, air adalah zat yang dapat berubah-ubah bentuk
(padat, cair, dan gas) tanpa menjadi berkurang. Ia juga mengemukakan pandangan
bahwa bumi terletak diatas air. Bumi dipandang sebagai bahan yang satu kali
keluar dari laut dan kemudian terapung-apung diatasnya (Bertens, 1990: 26-28).
2.
Periode
Herakleitos
Masa
filsafat kedua adalah masa herakleitos (580-480 SM). Menurutnya, “segala
sesuatu berasal dari api yang mudah bergerak. Tidak ada yang tetap, semuanya
senantiasa bergerak. Yang ada bukanlah being,
tetapi be coming. Tidaka ada yang
boleh disebut ada tetapi menjadi. Segala perubahan dunia dikuasai oleh logos, yang artinya pemikiran yang benar.
Logos kemudian menjadi logika. Perubahan yang tidak ada henti-hentinya itu
dibayangkan Herakleits dengan dua cara:
Pertama, seluruh
kenyataan adalah seperti aliran sungai yang mengalir. “Engkau tidak dapat turun
dua kali ke sungai yang sama.” Demikian kata Herakleitos. Maksudnya di sini,
air sungai selalu bergerak sehingga tidak pernah seseorang turun di air sungai
yang sama dengan sebelumnya.
Kedua, ia
menggambarkan seluruh kenyataan dengan api. Maksud api di sini lain dengan konsep mazhab Miletos yang menjadikan air
atau udara sebagai prinsip dasar segala sesuatu. Bagi Herakleitos, api bukanlah
zat yang dapat menerangkan perubahan-perubahan segala sesuatu, melainkan
melambangkan gerak perubahan itu sendiri. Api senantiasa merubah apa saja yang
dibakarnya menjadi abu dan asap, namun api tetaplah api yang sama. Karena itu
api cocok untuk melambangkan kesatuan dalam perubahan (Bertens, 1990).
3.
Periode
Filosofi Elea
Pada
masa ini tokoh-tokoh yang terkenal, diawali dengan Xenopanes (580-470 SM) yang
memiliki pemikiran bahwa “Tuhan hanya satu, tidak bergerak, tidak berubah-ubah,
dan mengisi seluruh alam”. Menurut Xenopanes, Tuhan adalah “yang satu meliputi
semuanya”, yakni tidak dilahirkan dan tidak memiliki akhir, artinya bersifat
kekal. Ini berbeda dengan konsep dewa-dewi yang dilahirkan dan dapat mati. Ia
tidak menyerupai makhluk duniawi mana pun, baik manusia ataupun binatang. Ia
juga tidak memiliki organ seperti manusia namun mampu melihat, berfikir, dan
mendengar. Ia juga senantiasa menetap di tempat yang sama namun menguasai
segala sesuatu dengan pikirannya saja (Albert A. Avey. 19954, h. 13).
Selanjutnya,
filusuf yang terkenal pemikirannya pada masa ini adalah Pythagoras (582-496 SM)
yang dikenal sebagai ahli mistik dan ahli pikir dalam aliran mistik, ia
terpengaruh orfisisme, dan percaya
akan kepindahan jiwa dari makhuk sekarang ke makhluk yang akan datang. Pokok
ajaran Pythagoras mengenai segala barang dan angka-angka. Menurutnya, “Alam ini
tersusun dari angka-angka, di mana ada matematik, ada susunan, dan ada
kesejahteraan. Pythagoras mencampuradukkan antara mistik ilmu”.
4.
Periode
Filosofi Alam II
Zaman
ini dipengaruhi oleh pemikir-pemikir filsafat, seperti Empedokles, Anaxagoras,
leukippos, dan Demokritos. Diawali dengan masa Empedokles (490-430 SM)yang
banyak dipengaruhi oleh aliran Pythagoras dan terkenal dengan pemikirannya
bahwa prinsip yang mengatur alam semesta tidaklah tunggal melainkan terdiri
atas 4 anasir atau zat (Barnes, 2001). Memang saat itu ia belum mamaknai
istilah anasir (stoikeia) tetapi
menggunakan istilah akar (rizomata) .istilah
analisir yang sebenarnya baru digunakan oleh Plato. Empat anasir tersebut
adalah air, tanah, udara, dan api. Keempat anasir tersebut dapat dijumpai
diseluruh alam semesta dan memiliki sifat-sifat saling berlawanan. Api
dikaitkan dengan yang panas dan udara dengan yang dingin, sedangkan tanah
dikaitkan dengan yang kering dan iar dikaitkan dengan yang basah. Salah satu
kemajuan yang dicapai melalui pemikiran Empedokles adalah ketika ia menemukan
udara adalah anasir sendiri. Para filusuf sebelumnya, misalnya Anaximenes,
masih mencampuradukkan udara dengan kabut. Empedokles berpendapat bahwa semua
anasir memiliki kuantitas yang sama. Anasir sendiri tidak dapat berubah,
sehingga, misalnya, tanah tidak dapat menjadi air. Akan tetapi, semua benda
yang ada di alam semesta terdiri dari empat anasir tersebut, walaupun berbeda
komposisinya (Bartens, 1990). Contohnya, Empedokles menyatakan tulang tersusun
dari dua bagian tanah, dua bagian air, dan empat bagian api. Suatu benda dapat
berubah karena empat komposisi tersebut diubah (Daniel W. Graham, 1999).
5.
Periode
Sofisme
Zaman
ini, diawali Protogoras (481-411 SM) yang memiliki pemikiran bahwa “manusia
adalah ukuran bagi segalanya, bagi yang ada karena adanya, bagi yang tidak
karena adanya”. Pandangan berubah ubah menurut yang dipandang, pandangan
bergerak senantiasa”. Di dalam buku yang berjudul Aletheia (kebenaran), Protagoras menyatakan bahwa “Manusia adalah
ukuran bagi segala-galanya; untuk hal-hal yang ada sehingga mereka ada, dan
untuk hal-hal yang tidak ada sehingga mereka tidak ada.” Manusia yang dimaksud
di sini adalah manusia sebagai individu. Dengan demikian, pengenalan terhadap
sesuatu bergantung pada individu yang merasakan sesuatu itu dengan panca
indranya. Contoh bagi orang yang merasakan sakit, angin dapat terasa dingin.
Sedangkan bagi orang yang sehat, angin itu terasa panas. Di sini kedua orang
tersebut benar, sebab pengenalan terhadap angin berdasarkan keadaan fisik dan
psikis orang-orang tersebut. Pandangan seperti ini dapat dikatakan relativisme,sebab kebenaran didasarkan
kepada masing-masing orang yang merasakannya (Bertens, 1990:69-72).
Filusuf
yang terkenal lagi pada zaman ini adalah Prodikos (430 SM) yang memiliki
pemikiran bahwa “yang baik dan yang buruk bergantung pada keadaan” secara umum,
zaman sofistik ini mengantarkan pikiran filosof ke gerbang filosofi dalam
berpikir tentang pikiran”.
Menurut
Prodikos, agama merupakan temuan manusia. Pada awalnya manusia memuja
tenaga-tenaga alam sebagai dewa, misalnya matahari, bulan, sungai, danau,
pohon, dan sebagainya. Contohnya adalah pemujaan kepada sungai nil di Mesir.
Pada tahap berikutnya, orang yang menemukan keahlian tertentu dipuja sebagai
dewa. Keahlian-keahlian tersebut misalnya pertanian, perkebunan anggur, dan
pengolahan besi. Contoh dari tahap ini adalah para dewa yunani seperti Demeter,
Dionnysos, dan Hephaistos, yang semuanya dikaitkan dengan keahlian-keahlian
tertentu. Doa-doa yang dipanjatkan manusia dipandang sebagai hal yang
berlebihan (Bartens, 1990).
6.
Periode
Filosofi Klasik
Tokoh-tokoh
filosofi klasik adalah filusuf yang tidak asing lagi di dunia filsafat. Mereka
adalah Socrates, Plato, dan Aristoteles yang secara turun temurun dikenla
sebagai guru dan murid.
Pemikiran
Socrates (470-390 SM) dapat ditemukan dalam tulisan plato. Menurutnya “dalam
mencari kebenaran, seseorang butuh orang lain”. Tokoh filosof ini adalah yang
tertua diantara ketiganya, dan merupakan tokoh marginal, orang perbatasan,
dimana di satu segi dapat dikategorikan ke dalam kelompok kaum sofis, tetapi
dari sudut lain menentang golongan kaumnya sendiri. Ambivalensi status
intelektual ini dipersulit lagi
kenyataan bahwa ia tidak menulis suatu karya apa pun, karena warisan
alam pemikirannya hanya dapat dipelajari melalui corong murid dan sekaligus
rekannya Plato, dalam setiap pembahasannya tentang problema yang sama dalam
karya tulisannya. Tetapi Socrates memberikan kepada manusia metode bagaimana
memperoleh pengetahuan yang baik atau tingkah laku yang baik. Metode tersebut
diberi nama “socratic method” atau metode dialektif yang ditandai dengan
ciri-ciri, sifat karakteristik sebagai berikut:
a. Dialektik,
artinya bahwa metode tersebut dilakukan oleh dua orang atau lebih yang pro dan
kontra, atau yang memiliki perbedaan pendapat,
b. Konfersasi,
artinya bahwa metode dilakukan dalam bentuk percakapan atau komunikasi lisan.
c. Tentatif
dan provisional, artinya kebenaran yang dicari bersifat sementara tidak mutlak,
dan merupakan alternatif yang terbuka untuk segala kemungkinan.
d. Empiris
dan induktif, artinya segala sesuatu yang dibicarakan dan cara penyelesainnya
harus bersumber pada hal-hal yang empiris.
e. Konsepsional,
artinya metode ditujukan untuk tercapainya pengetahuan, pengertian dan
konsep-konsep yang lebih difinitif
daripada sebelumnya.
Bagi
Socrates pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang bersumber atau
diperoleh melalui pembentukan konsep dan metode ketercapaiannya pengetahuan
demikian itu adalah menggunakan metode dialektika di atas.
E.
Sejarah
Pemikiran Filsafat Timur (Islam)
Sejarah
pemikiran filsafat di daerah timur, atau secara lebih spesifik di dunia islam
diawali dengan kemajuan yang dicapai dunia Islam dalam bidang pemikiran,
terkait erat dengan upaya kaum intelektual menerjemahkan pemikiran filsafat
yunani kedalam Bahasa Arab pada masa kekuasaan Bani Abbasiyah di Baghdad antara
tahun 750-1250M. Pemikiran filsafat yunani ini akhirnya diadobsi oleh pemikir
Islam dalam berbagai kajian, sehingga melahirkan berbagai macam aliran-aliran
dalam Islam yang juga melahirkan filusuf- filusuf Islam.
Namun demikian, terdapat beberapa sikap
umat Islam yang berbeda terhadap filsafat, antara lain:
1. Menolak
pemikiran filsafat yunani; alasannya karena filsafat yunani bersifat
spekulatif, mengutamakan teori, dan mengabaikan kenyataan;
2. Menerima
keseluruhan; alasannya bahwa filsafat yang diterjemahkan berkisar pada masalah
ketuhanan, etika, dan ilmu jiwa yang berkaitandengna agama, terutama filsafat
ketuhanan.
3. Menerima
sebagian dan menolak sebagian dengan alasan bahwa pemikiran filsafat yunani ada
yang dapat diterima dan ada juga yang tidak dapat diterima.
Dalam filsafat Islam,
terdapat beberapa konsepsi pemikiran Aliran-aliran dalam Islam, yakni aliran Khawarij, Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah,
Syi’ah, dan Asy’ariyah.
F.
Perkembangan
Filsafat di Indonesia
Sejarah perkembangan
filsafat di Indonesia dimulai sejak negara ini memasuki peradapan neolitikum
atau zaman batu baru, sekotar 3500 SM silam. Saat itu, pembahasan filsafat
Indonesia masih seputar kehidupan tradisional para nenek moyang terdahulu,
termasuk tentang ajaran adat istiadat
yang mengandung falsafah-falsafah itu mereka sendiri.
Baraulah sekitar tahun 1967, filsafat
Indonesia menjadi ilmu pengetahuan yang dipelajari oleh masyarakat Indonesia.
Bermula dari tulisan yang ditulis oleh seorang guru besar bernama M. Nasroen
yang berisi tentang falsafah Indonesia, maka mulai sejak itu pendalaman teori
ini semakin sering dilakukan. Dalam tulisan M Nasroe, disebutkan bahwa bangsa
Indonesia terdir atas beragam kebudayaan yang berasal dari banyaknya suku
budaya di negeri ini. Tiap-tiap kebudayaan tersebut tentunya memiliki falsafah
masing-masing pula.
M. Nasroen juga mengatakan bahwa filsafat
Indonesia berdasarkan pada falsafah negara itu sendiri, yaitu pancasila.
Pancasila dijadikan pandangan hidup berbangsa dan bertanah air yang menyatukan
keanekaragaman seluruh falsafah kebudayaan yang ada di Indonesia ini.
Seiring berjalannya waktu, pendapat M.
Nasroen dalam tulisannya tersebut mendapat dukungan dari gagasan orang-orang
yang memiliki pndangan yang sama dengannya. Seperti yang dikatakan oleh Sidi
Gazalba dalam bukunya yang berjudul Sistematika Filsafat, bahwa kehidupan
bangsa Indonesia bermula dari kehidupan para nenek moyang, mengakar, dan
berlaku secara turun menurun, tanpa terputus. Jadi, pandangan hidup atau
falsafah yang dianut para nenek moyang tersebut dilestarikan secara terus
menerus kepada generasi selanjutnya. Itu sebabnya, mengapa Indonesia telah
mengenal filsafat sejak beribu-ribu tahun yang silam.
Filsafah ketimuran yang berlaku di
Indoneia selalu identik dengan kebudayaan daerah, terutama kebudayaan jawa.
Kebudayaan jawa dianggap sebagai kebudayaan yang berperan dalam pelestarian
nilai-nilai luhur. Istilah “bhineka tunggal ika”. “gemah lipah loh jinawi”,
“tut wuri handayni” adalah istilah yang diadaptasi dari bahasa Sansekerta dari
tanah jawa. Tidak hanya itu, filsafat ketimuran terkadang disampaikan tersirat
dalam bentuk pertunjukan seperti wayang petruk, cerita rakyat, dan lain
sebaginya.
G.
Sejarah
Filsafat Pendidikan
Pada mulanya filsafat
pendidikan adalah cara pendekatan terhadap masalah pendidikan yang biasa
dilakukan di negara-negara Anglo Saxon. Di Amerika Serikat misalnya filsafat
pendidikan dimulai dengan pengkajian terhadap beberapa aliran filsafat tertentu
seperti pragmatisme, idealisme, realisme, eksistensialisme, dan lain sebagainya
yang di akhiri dengan implikasinya ke dalam aspek-aspek pendidikan. Di Inggirs
filsafat pendidikan dipusatkan pada prinsip-prinsip yang mendasar sekali dalam
pendidikan, misalnya dalam tujuan pendidikan, tujuan kkurikulum, metoda
belajar, oraganisasi pendidikan dan lain-lain.
Filsafat
pendidikan yang lahirdan menjadi bagian dari rumpun konsep ilmu pendidikan
sebagai ilmu pengetahuan yang normatif, merupakan disiplin ilmu yang merumuskan
kaidah-kaidah norma atau nilai yang akan menjadi ukuran tingkah laku manusia
yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Dengan sendirinya ilmu ini berkaitan
pula dengan ilmu pengetahuan yang normatif lainnya seperti sosiologi,
kebudayaan, filsafat, agama yang menjadi sumber nilai atau norma hidup dan
pendidikan yang sekaligus akan menentukan tingkah laku perbuatan manusia dalam
kehidupan dan penghidupannya.
Selanjutnya
filsafat pendidikan yang lahir dari ilmu pendidikan sebagai ilmu pengetahuan
yang praktis dikandung maksud bahwa tugas pendidikan sebagai aspek kebudayaan
mempunyai tugas untuk menyalurkan nilai-nilai hidup serta melestarikan dan
mengembangkan nilai-nilai norma tingkah laku kepada subyek didik yang bersumber
dari filsafat, kebudayaan dan agama yang berlaku di dalam masyarakat atau
negara.
Filsafat
pendidikan merupakan tata pola pikir terhadap permasalahan di bidang pendidikan
dan pengajaran yang senantiasa mempunyai hubungan dengan cabang-cabang ilmu
pendidikan yang lain seperti sejarah pendidikan perbandingan, dan lain
sebagainya yang kesemuanya diperlukan oleh pendidikan atau guru sebagai
pengajar dalam bidang studi tertentu dan atau seorang ayah atau seorang ibu
mengajarkan akhlakn keteladanan
Rasullullah kepada putera-puterinya dalam keluarga. Dalam hal ini maka guru
atau orang tua dalam melaksanakan pendidikan tadi merangkum antara teori
pengetahuan dan filsafat yang terkandung dalam pelajaran yang diberikan.
BAB
III
PENUTUP
Di bab ini akan membahas tentang
Kesimpulan
A.
Kesimpulan
Filsafat yunani klasik
merupakan awal dari permulaan pemikiran filsafat atau pembahasan masalah
filsafat secara kulatif rasional, dan tidak irasional dogmatis. Filsafat yunani
merupakan contoh ilustrasi pemikiran dan pembahsan masalah filsafat secara
sistematis dan lengkap berlaku sampai sekarang. Pada dasarnya pemikir-pemikir
filsafat saat ini merupakan komentator filsafat yunani klasik dan menyesuaikan
dasar-dasar pemikiran tokoh klasik dengan tuntutan zaman dan perkembangan
kebudayaan.
Pikiran dan
rasionalitas manusia merupakan kemampuan unik yang membedakan manusia dan
binatang. Kemampuan manusia berkomunikasi bukan sekedar pembeda manusia dan
hewan, melainkan pencarian kebenaran, yang mengacu pada Al-Quran dan As-Sunnah,
yang lebih komprehensif, di sini, terdapat perbedaan antara pemikiran filsafat
Barat (Sekuler) dan pemikiran filsafar Timur (Islam).
Selama manusia bertanya tentang
dunia, selama itu pula manusia diganggu oleh misteri karena sifat manusia
selalu ingin tahu. Oleh karenanya, disini komunikasi sebagai sentral ilmu
perilaku manusia. Semua ahli filsafat, baik filsafat Barat (Sekuler) maupun
filsafat Timur (Islam) mengakui bahwa komunikasi merupakan kekuatan yang
mengagumkan dalam mengubah manusia dan peradabannya.
DAFTAR
RUJUKAN
Huda, M. A Y. 2010. Kajian Filosofis Otonomi Daerah Bidang Pendidikan. Malang: FIP UM.
Prasetya
Tri. 1997. Filsafat Pendidikan. Bandung:
CV. Pustaka Setia
Saifullah,
Ali. 1982. Antara Filsafat dan
Pendidikan: Pengantar Filsafat Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Syam,
Nina. 2010. Filsafat Sebagai Akar Ilmu
Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media