Produk

Kamis, 28 Februari 2019

PENDIDIKAN KARAKTER


PENDIDIKAN KARAKTER
Yoga Abi Zakaria
NIM. 160131600463
Universitas Negeri Malang


ABSTRAK: Pendidikan karakter merupakan suatu hal yang amat penting bagi kemajuan bangsa karena dengan pendidikan karakter diharapkan generasi penerus akan menjadi generasi yang lebih baik dari generasi selanjutnya, Menurut D.Yahya Khan dalam Asmani (2011:30), Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan berperilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja sama sebagai keluarga, masyarakat dan bangsa, serta membantu orang lain untuk membuat keputusan yang dapat di pertanggungjawabkan. Dengan kata lain, Pendidikan karakter mengajarkan anak didik berpikir cerdas, mengaktivasi otak tengah secara alamiah.  tanpa pendidikan karakter, bangsa kita hanyalah menjadi bangsa yang lemah dan takut terhadap bangsa lain, kalah bersaing dengan negara lain, sehingga bangsa kita menjadi bangsa yang tetap terbelakang.
Kata Kunci: pendidikan karakter, karakter yang baik, pendidikan karakter di sekolah

BAHASAN
Hakikat Pendidikan Karakter

Karakter merupakan titian ilmu pengetahuan dan keterampilan pengetahuan tanpa kesadaran diri akan menghancurkan. Karakter bukan sekedar penampilan lahiriah, melainkan mengungkapkan secara implisit hal-hal yang tersembunyi. Karakter yang baik mencakup pengertian, kepedulian dan tindakan berdasarkan nilai-nilai etika, serta meliputi aspek kognitif, emosional, dan perilaku dari kehidupan moral.
Menurut D.Yahya Khan dalam Asmani (2011:30), Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan berperilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja sama sebagai keluarga, masyarakat dan bangsa, serta membantu orang lain untuk membuat keputusan yang dapat di pertanggungjawaban. Dengan kata lain, Pendidikan karakter mengajarkan anak didik berpikir cerdas, mengaktivasi otak tengah secara alamiah.
Lebih lanjut, Pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukuan oleh guru untuk mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik dengan cara memberikan keteladanan, cara berbicara atau menyampaikan materai yang baik, toleransi, dan  berbagai hal yang terkait lainnya.


Penetapan Pendidikan Karakter di Sekolah

Dalam pembelajaran dikenal tiga istilah, yaitu pendekatan metode dan teknik pembelajaran. Pendekatan pembelajaran bersifat lebih umum, dan berkaitan dengan seperangkat asumsi berkenaan dengan hakikat pembelajaran. Metode pembelajaran merupakan rencana menyeluruh tentang penyajian materi ajar secara sistematis dan berdasarkan.
            Teknik pembelajaran adalah kegiatan spesifik yang di implementasikan dalam kelas atau laboratorium sesuai dengan pendekatan dan metode lebih dengan demikian dapat ditegaskan bahwa pendekatan lebih aksiomotor, metode bersifat prosedural dan teknik bersifat aperasional (Majid 2005). Meskipun demikian beberapa para ahli dan praktisi seringkali tidak membedakan kettiga istilah tersebut secara tegas. Seringkali mereka menggunakan ketiga istilah tersebut dengan pengertian yang sama.
            Pendidikan konverter yang terpadu dalam pembelajaran merupakan. Pergerakan nilai-nilai, diperalihkan kesadaran akan pentingnya nilai-nilai dan internalisasi nilai terhadap tingkah laku peserta didik sehari-hari.
            Kegiatan pembelajaran bertujuan menjadikan peserta didik menguasai kompetisi yang di targetkan, serta dirancang untuk menjadikan peserta didik mengenal, peduli dan menginternaligasi. Nilai-nilai dalam bentuk perilaku intergrasi pendidikan karakter pada mata pelajaran mengerah pada internalisasi nila-nilai dalam tingkah laku sehari-hari melalui proses pembelajaran dari tahapan perencanaan. Pelaksanaan dan penilaian.
            Kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran dan pelayanan konseling untuk membantu pengembangan peserta  didik sesuai dengan kebetulan potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berwenang di sekolah.
            Visi kegiatan ekstrakurikuler adalah berkembangnya potensi, bakat dan minat secara optimal. Selain itu, juga demi tumbuhnya kemandirian dan kebahagiaan peserta didik yang berguna untuk diri sendiri, keluarga dan masyarakat ada dua misi kegiatan yang dapat di pilih oleh peserta didik sesuai dengan kebutuhan potensi, bakat dan minat mereka. Keduanya, menyelenggarakan kegiatan yang memberikan kesempatan kepada peseta didik untuk mengekspresikan diri secara bebas melalui kegiatan mandiri dan atau kelompok.
            Kegiatan ekstrakurikuler selama ini dipandang sebelah mata hanya sebagai pelengkap kegiatan intrakurikuler. Padahal jika kegiatan ekstra ini didesain secara profesional maka akan menjadi wahana efektif dalam melahirkan bakat terbesar dalam diri anak dan tempat aktualisasi terhebat yang akan selalu di tunggu anak setiap saat. Oleh sebab itu ekstrakurikuler jangan hanya didesain biasa-biasa saja, tidak menarik monoton, menjadi beban bagi anak, tidak ada nilai rekreasi dan refresingnya, serta memusingkan kepala dan memberatkan beban anak. Ini yang harus menjadi tantangan bagi kepala sekolah dalam memberdayakan ekstrakurikuler ini secara maksimal efektif dan produktif bagi perkembangan karakter anak.


PENUTUP
Simpulan
Hakikat pendidikan karakter merupakan segala sesuatu yang dilakukan oleh uru untuk memengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk keteladanan, cara berbicara atau menyampaikan materi yang baik, toleransi, dan berbaai hal yang terkait lainnya. Berkaitan dengan penerapan di sekolah dapat dilakukan dengan kegiatan pembelajaran di dalam kelas dan kegiatan ekstrakurikuler. Selain kedua kegiatan tersebut dibutuhkan pula metodologi yang efektif melalui pengajaran, keteladanan menentukan prioritas, praksis prioritas dan refleksi.
Saran
            Berdasarkan simpulan di atas, maka saran/rekomendasi yang diajukan dirumuskan sebagai berikut. Pendidikan karakter harus bisa dijalankan dengan baik, bukan hanya sekedar wacana/slogan yang dirancangkan, tetapi pelaksanaannya dalam pembelajaran memang harus ada.

Daftar Rujukan

Asmani, Ma’amur, Jamai. 2011. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah. Yogyakarta: Diva Press.
Ilahi, Takdir, Mohammad. 2014. Gagalnya Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Senin, 18 Februari 2019

Pancasila Sebagai Sistem Etika


A.     PENGERTIAN PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA
Menurut Margono (2012:25) secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani “ethos” berarti watak, keharusan, dan adat. Pengertian yang diberikan Magnis Suseno dalam Margono (2012:25) etika merupakan pengkajian filsafat tentang bidang yang menyangkut kewajiban-kewajiban manusia serta tentang yang baik dan buruk. Said dalam Margono (2012:25) menjelaskan bahwa etika berasal dari bahasa Yunani “ehos” dan dari bahasa latin “mos” jamaknya “mores” berarti watak, adat atau cara hidup yang menunjukkan cara berbuat yang menjadi adat karena persetujuan atau praktek sekelompok manusia. Dengan demikian, etika atau moral sebagai adat kebiasaan yang terikat pada pengertian baik dan buruk dalam tingkah laku manusia. Etika juga sering disamakan dengan akhlak dalam bahasa arab yakni perangai atau tabiat. Etika merupakan ilmu tentang akhlak, yang hakekatnya gambaran batin manusia yang tepat. Akhlak dalam kehidupan sehari-hari berarti budi pekerti atau kesusilaan atau sopan santun.
Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Margono (2012:26) menjelaskan etika sebagai berikut. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Dan kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
Nilai mengenai benar atau salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat. Etika merupakan pemikiran kritis yang memberikan pengertian mengapa manusia harus hidup sesuai dengan aturan norma. Menurut Margono (2012:26) etika adalah merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran moral. Dengan demikian mengantarkan orang pada kemampuan untuk bersikap kritis rasional untuk membedakan yang baik dan tidak baik, yang gilirannya memungkinkan mengambil sendiri serta ikut menentukan perkembangan masyarakat, karena etika mempersoalkan keadaan manusia bagaimana ia harus bersikap dan bertindak.
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud etika Pancasila adalah etika yang mengacu dan bersumber pada nilai-nilai, norma Pancasila sebagai dasar negaradan pandangan hidup bangsa. Karena hakekat inti ajaran Pancasila adalah ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, keadilan maka etika Pancasila mengacu pada substansi atau inti ajaran tersebut. Terminologi di belakang kata etika, yakni Pancasila sekaligus menunjukkan karakteristik konsep, prinsip, dan nilai bangsa Indonesia yang


berbeda dengan bangsa lain; contohnya: liberalism, pragmatism, feodalisme, hedonisme, utilitarianisme, idealisme, sekularisme, vitalisme, teologisme, komunisme, machiavelisme, individualisme, dan lain-lain (Winarno dalam Margono (2012:26).
Pancasila sebagai sumber nilai diwujudkan dengan menjadikan nilai dasar Pancasila sebagai sumber pembentukan norma etik (norma moral) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai-nilai Pancasila adalah nilai moral oleh karena itu, nilai Pancasila juga dapat diwujudkan kedalam norma-norma moral (etik). Norma-norma etik tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Norma-norma etik sebagai pedoman dalam bersikap dan bertingkah laku telah berhasil dirumuskan bangsa Indonesia saat ini melalui wakil rakyatnya. Norma-norma etik tersebut bersumber pada Pancasila sebagai nilai budaya bangsa. Rumusan norma etik tersebut tercantum dalam ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, Bernegara, dan Bermasyarakat.
Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang etika kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat merupakan penjabaran nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman dalam berfikir, bersikap, dan bertingkah laku yang merupakan cerminan dari nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan yang sudah mengakar dalam kehidupan bermasyarakat.
Pancasila sebagai suatu sistem etika, menyangkut etika dalam berbagai kegiatan sebagaimana dikemukakan Parwiyanto dalam Margono (2012:27) yang secara singkat dapat dijelaskan sebagai etika politik dan pemerintahan, etika ekonomi dan bisnis, etika sosial budaya, etika penegakan hukum yang berkeadilan, serta etika keilmuan dan disiplin kehidupan. Pancasila etika politik dan pemerintahan dimaksudkan untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik (good governance) yakni pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif; transparan dan akuntabel. Di samping itu juga menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa tanggungjawab, tanggap akan aspirasi rakyat; menghargai perbedaan; jujur dalam persaingan; ketersediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar walau datang dari orang per orang ataupun kelompok orang; serta menjunjung tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila dirinya merasa telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara.
Pancasila sebagai etika ekonomi dan bisnis dimaksudkan agar prinsip dan perilaku ekonomi, baik oleh pribadi, institusi, maupun mengambil keputusan dalam bidangn ekonomi, dapat melahirkan kondisi dan realitas ekonomi yang bercirikan persaingan yang jujur, berkeadilan, mendorong berkembangnya etos kerja ekonomi, daya tahan ekonomi, dan kemampuan bersaing serta terciptanya suasana kondusif untuk pemberdayaan ekonomi rakyat melalui usaha-usaha bersama secara berkesinambungan. Hal itu bertujuan


menghindarkan terjadinya praktik-praktik monopoli, oligopoli, kebijakan ekonomi yang bernuansa KKN ataupun rasial yang berdampak negatif terhadap efisiensi, persaingan sehat, dan keadilan; serta menghindarkan perilaku menghalalkan segala cara dalam memperoleh keuntungan.
Pancasila sebagai etika sosial dan budaya bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam dengan menampilkan kembali sikap jujur, saling peduli, saling memahami, saling menghargai, saling mencintai, dan tolong menolong diantara sesame manusia dan anak bangsa. Senapas dengan itu juga menghidupkan kembali budaya malu, yakni malu berbuat kesalahan dan semua yang bertentangan dengan moral agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Untuk itu, perlu dihidupkan kembali budaya keteladanan yang harus dimulai dan diperlihatkan contohnya oleh para pemimpin pada setiap tingkat dan lapisan masyarakat.
Pancasila sebagai sistem etika penegakan hukum dan berkeadilan dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa tertib sosial (social order), ketenangan, dan keteraturan hidup bersama, ketertiban masyarakat hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan terhadap hukumdan seluruh peraturan yang ada. Keseluruhan aturan hukum apabila ditaati oleh seluruh masyarakat akan menjamin tegaknya supremasi hukum, terlaksananya pemerintahan berdasarkan hukum. Hal ini sejalan dengan kehendak bersama menuju kepada pemenuhan rasa keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Pancasila sebagai etika keilmuan diwujudkan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai ilmu pengetahuan dan teknologi agar mampu berfikir rasional, logis, dan objektif. Etika ini ditampilkan secara pribadi dan ataupun kolektif dalam perilaku gemar membaca, belajar, meneliti, menulis, membahas, dan kreatif dalam menciptakan karya-karya baru, serta secara bersama-samamenciptakan iklim kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan etika keilmuan dan kedisiplinan akan menjadikan kemanfaatan bagi kehidupan “ilmu yang amaliah, ilmu yang ilmiah”.
Pancasila sebagai sistem etika, manakala dijadikan acuan dalam kehidupan maka nilai-nilai Pancasila akan tercermin dalam norma-norma etik kehidupan berbangsa dan bernegara dapat kita amalkan. Untuk berhasilnya perilaku bersandarkan pada norma-norma etik kehidupan berbangsa dan bernegara, ada beberapa hal yang perlu dilakukan sebagai berikut. Proses penanaman dan pembudayaan etika tersebut hendaknya menggunakan bahasa agama dan bahasa budaya sehingga menyentuh hati nurani dan mengundang simpati dan dukungan seluruh masyarakat. Apabila sanksi moral tidak lagi efektif, langkah-langkah penegakan hukum harus dilakukan secara tegas dan konsisten. Proses penanaman dan pembudayaan etika dilakukan melalui pendekatan cara indoktrinasi. Pelaksanaan gerakan nasioanal etika berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat secara sinergik dan berkesinambungan yang melibatkan seluruh potensi bangsa, pemerintah ataupun masyarakat. Perlu dikembangkan etika-etika profesi, seperti etika profesi hukum, profesi


kedokteran, profesi ekonomi, dan profesi politik yang dilandasi oleh pokok-pokok etika ini yang perlu ditaati oleh segenap anggotanya melalui kode etik profesi masing-masing. Mengkaitkan pembudayaan etika kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat sebagai bagian dari sikap keberagaman, yang menempatkan nilai-nilai etika kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat di samping tanggungjawab kemanusiaan juga sebagai bagian pengabdian pada Tuhan Yang Maha Esa (Parwiyanto dalam Margono 2012:29).

B.     TUJUAN PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA
Tujuanpancasilasebagaisistemetikayakniuntukdijadikanacuandalamkehidupankarenanilai-nilaipancasila yang tercermindalamnorma-normaetikkehidupandanbernegaradandiharapkandapatdiamalkanolehmasyarakat Indonesia dalamkehidupansehari-hari.Pancasilasebagaisistemetikajugabertujuanuntukdijadikandasarpenentuansuatukegiatan yang nantinyadapatmewujudkanpemerintahan yang bersih, efisien, efektif, transparan, danakuntabel.Etikadalampancasilajugadapatdijadikantolokukurmengenaikeperibadiansuatubangsadan Negara karenadapatdilihatdaritingkahlakumasyarakatdalamkesehariannya.
C.     PENERAPAN PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA
Dalam kehidupan kita akan selalu berhadapan dengan istilah nilai, norma dan juga moral dalam kehidupa sehari-hari. Dapat kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan nilai sosial merupakan nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Sebagai contoh, orang menganggap menolong memiliki nilai baik, sedangkan mencuri bernilai buruk. Dan dapat juga dicontohkan, seorang kepala keluarga yang belum mampu memberi nafkah kepada keluarganya akan merasa sebagai kepala keluarga yang tidak bertanggung jawab. Demikian pula, guru yang melihat siswanya gagal dalam ujian akan merasa gagal dalam mendidik anak tersebut. bagi manusia, nilai berfungsi sebagai landasan, alasan, atau motivasi dalaam segala tingkah laku dan perbuatannya. Nilai menncerminkan kualitas pilihan tindakan dan pandangan hidup seseorang dalam masyarakat. Itu adalah yang dimaksud dan juga contoh dari nilai.
Dapat dijelaskan juga bahwa yang dimaksud norma sosial adalah patokan perilaku dalam suatu kelompok masyarakat tertentu. Norma sering juga disebut denga peraturan social. Norma menyangkut perilaku-perilaku yang pantas dilakukan dalam menjalani interaksi sosialnya. Keberadaan norma dalam masyarakat bersifat memaksa individu atau suatu kelompok agar bertindak sesuai dengan aturan social yang telah terbentuk. Pada


dasarnya, norma disusun agar hubungan di antara manusia dalam masyarakat dapat berlangsung tertib sebagai mana yang diharapkan.
Tingkatan norma dasar didalam masyarakat dibedakaan menjadi 4 yaitu:
1.    Cara
Contoh: cara makan yang wajar dan baik apabila tidak mengeluarkan suara seperti hewan.
2.    Kebiasaan
Contoh: memberi hadiah kepada orang-orang yang berprestasi dalam suatu kegiatan atau kedudukan, memakai baju yang bagus pada waktu pesta.
3.    Tata Kelakuan
Contoh: melarang pembunuhan, pemerkosaan, atau menikahi saudara kandung.
4.    Adat Istiadat
Misalnya orang yang melanggar hokum adat akan dibuang da diasingkan ke daerah lain, upacara adat (misalnya di Bali)

Norma Hukum(laws)
·         Tidak melanggar rambu lalu lintas walaupun tidak ada polantas
·         Menghormati pengadilan dan peradilan di Indonesia
Norma Kesusilaan
·         Contoh: orang yang berhubungan intim di tempat umum akan di cap tidak susila, melecehkan wanita ataupun laki-laki didepan orang.
Norma Kesopanan
·         Memberikan tempat duduk di bis umum pada lansia dan wanita hamil
·         Tidak meludah disembarang tempat, memberi atau menerima sesuatu dengan tangan kanan, kencing di sembarang tempat.
Dan ada beberapa norma yang belum disebutka dalam hal ini. Setelah masuk pada nilai dan norma, dalam aplikasi yang terakhir akan membahas tentang moral.Moral (Bahasa Latin Moralitas) adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang mempunyai nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara eksplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi. Moral dalam zaman sekarang mempunyai nilai implisit karena banyak orang yang mempunyai moral atau sikap amoral itu


dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus mempunyai moral jika ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh.
Contoh moral adalahtidak terdapat adanya pemaksaan suatu agama tertentu kepada orang lain, dengan demikian masyarakat dan bangsa Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai HAM. Dapat dicontohkan dalam halnya pendidikan. Seorang siswa yang ingin bersekolah tapi dengan tidak dana maka ia tak dapat bersekolah sampai cita-citanya tidak terwujud.Contohnya moral dalam halnya kehidupan sehari kalau kita menemukan tas yang berisikan dokumen penting dan juga sejumlah uang yang terdapat dalam tas tersebut. Seandainya kita memiliki moral yang baik maka kita akan memberikan tas itu kepada pemiliknya kalau tidak pada yang berwajib.

Kamis, 07 Februari 2019

FILSAFAT PENDIDIKAN



FILSAFAT PENDIDIKAN


A.      Sejarah Pemikiran Filsafat
Selama manusia bertanya tentang dunia, selama itu pula manusia diganggu oleh misteri karena sifat manusia selalu ingin tahu. Oleh karenanya, disini komunikasi sebagai sentral ilmu perilaku manusia. Semua ahli filsafat, baik filsafat Barat (Sekuler) maupun filsafat Timur (Islam) mengakui bahwa komunikasi merupakan kekuatan yang mengagumkan dalam mengubah manusia dan peradabannya.
     Pikiran dan rasionalitas manusia merupakan kemampuan unik yang membedakan manusia dan binatang. Kemampuan manusia berkomunikasi bukan sekedar pembeda manusia dan hewan, melainkan pencarian kebenaran, yang mengacu pada Al-Quran dan As-Sunnah, yang lebih komprehensif, di sini, terdapat perbedaan antara pemikiran filsafat Barat (Sekuler) dan pemikiran filsafar Timur (Islam). Berikut akan diuraikan  secara singkat kedua sejarah pemikiran tersebut.
Filsafat yunani klasik merupakan awal dari permulaan pemikiran filsafat atau pembahasan masalah filsafat secara kulatif rasional, dan tidak irasional dogmatis. Filsafat yunani merupakan contoh ilustrasi pemikiran dan pembahsan masalah filsafat secara sistematis dan lengkap berlaku sampai sekarang. Pada dasarnya pemikir-pemikir filsafat saat ini merupakan komentator filsafat yunani klasik dan menyesuaikan dasar-dasar pemikiran tokoh klasik dengan tuntutan zaman dan perkembangan kebudayaan.
Menurut Mudyahardjo dalam Kajian Filosofis Otonomi Daerah Bidang Pendidikan (2010) Filsafat sejarah adalah filsafat yang membicarakan masalah metafisika sejarah yang berkenaan dengan latar belakang, sebab-sebab dan hukum-hukum yang mendasar, makna dan motivasi perkembangan manusia sebagai makhluk sosial dan dalam batas-batas kausalitas psikofisik, serta logika sejarah yang berkenaan dengan perkembangan sejarah.

B.       Mengapa Sejarah Filsafat?
     Sebagai jawaban pertanyaan diatas, yaitu mengapa harus mempelajari filsafat klasik, maka di bawah ini diajukan sejumlah dasar alasannya.
1.      Filsafat juga sebagai ilmu pengetahuan seperti juga ilmu pengetahuan yang lain, biasanya dipelajari melalui dua segi yaitu segi sejarah dan segi segi filsafat sistematis.
2.      Bahwa sejarah filsafat dipelajari dengan tujuan agar diperoleh apa yang menjadi masalah pokok filsafat dan sejarah perkembangan pemikiran filsafat.
3.      Bahwa mempelajari sejarah filsafat menyadarkan kita bahwa ajaran yang baik belum tentu diterapkan dengan baik, oleh sebab waktu dan tempat belum cukup masak memberikan dukungan pelaksanaannya.
4.      Bahwa teori yang baik dipraktekan dengan baik menstimulir kita untuk mengujicobakan sampai berhasil pada zaman kita.
5.      Bahwa mempelajari sejarah filsafat menyadarkan kita bahwa setiap teori ada kelemahan dan kebaikannya, karena itu menuntut adanya kerja sama antara sesama pengusaha filsafat, saling memberi dan menerima, dalam rangka kepentingan bersama, demi kesejahteraan umat manusia.
6.      Bahwa sejarah filsafat menyadarkan kita bahwa bukan kita saja yang mempelajari dan mempersoalkan masalah filsafat, tetapi orang kuno juga telah melakukannya dan bahkan lebih maju dari kita.

C.      Periodesasi Filsafat Yunani Klasik
Sistematis periodesasi, masalah-masalah yang dihadapi diajukan mendahului pembahasan masing tokoh dan ajarannya, dan ini dengan maksud untuk lebih jelas memberikan gambaran umum tentang ilmu filsafat, yang sampai saat ini masih dianggap sebagai induk dari cabang-cabang ilmu pengetahuan yang lain.dua hal yang perlu mendapat perhatian adalah pertama tentang penulisan tahun perkembangan pemikiran atau ajaran dan penulisan nama-nama tokoh yang nampaknya terdapat tidak keseragaman di antara sumber-sumber kepustakaan yang digunakan.
Adapun sistematika singkatan periodesasi tersebut dapat dilihat d ibawah ini :
1.      Periode Pra-Sofis
Filosofi Alam.
a.       Thales
b.      Anamimander
c.       Anaximenes
d.      Pythagoras
Filsafat Perubahan
a.       Heraclitus
Filsafat Eleat
a.       Xenophanes
b.      Parmenides
c.       Zeno
d.      Melissos
2.      Sofisme
a.       Protagoras
b.      Gorgias
3.      Filosofi Alam II
4.      Periode Filosofi Klasik
a.       Sokrates
b.      Plato
c.       Aristoteles
5.      Filsafat Agama

D.      Sejarah Pemikiran Filsafat Barat (Sekuler)

1.      Periode Filosofi Alam
Sejarah filsafat di dunia barat diawali dengan masa filosofi alam. Tokoh yang terkenal pada masa ini adalah Thales (625-545 SM) yang terkenal dengan pemikirannya, “semuanya berasal dari air”. Air menjadi pangkal, pokok, dan dasar dari segalanya yang ada di alam semesta (Praja, 2005: 71-75). Berkat kekuatan dan daya kreatifnya sendiri, tanpa ada sebab-sebab diluar dirinya, air mampu tampil dalam segala bentuk, bersifat mantap, dan tak terbianasakan (Simon petrus, 2004:21-23).
Argumentasi Thales terhadap pandangan tersebut adalah bagaimana bahan makanan semua makhluk hidup mengandung air dan bagaimana semua makhuk hidup juga memerlukan air untuk hidup (Barnes,2001). Selain itu, air adalah zat yang dapat berubah-ubah bentuk (padat, cair, dan gas) tanpa menjadi berkurang. Ia juga mengemukakan pandangan bahwa bumi terletak diatas air. Bumi dipandang sebagai bahan yang satu kali keluar dari laut dan kemudian terapung-apung diatasnya (Bertens, 1990: 26-28).
2.      Periode Herakleitos
Masa filsafat kedua adalah masa herakleitos (580-480 SM). Menurutnya, “segala sesuatu berasal dari api yang mudah bergerak. Tidak ada yang tetap, semuanya senantiasa bergerak. Yang ada bukanlah being, tetapi be coming. Tidaka ada yang boleh disebut ada tetapi menjadi. Segala perubahan dunia dikuasai oleh logos, yang artinya pemikiran yang benar. Logos kemudian menjadi logika. Perubahan yang tidak ada henti-hentinya itu dibayangkan Herakleits dengan dua cara:
Pertama, seluruh kenyataan adalah seperti aliran sungai yang mengalir. “Engkau tidak dapat turun dua kali ke sungai yang sama.” Demikian kata Herakleitos. Maksudnya di sini, air sungai selalu bergerak sehingga tidak pernah seseorang turun di air sungai yang sama dengan sebelumnya.
Kedua, ia menggambarkan seluruh kenyataan dengan api. Maksud api di sini lain dengan  konsep mazhab Miletos yang menjadikan air atau udara sebagai prinsip dasar segala sesuatu. Bagi Herakleitos, api bukanlah zat yang dapat menerangkan perubahan-perubahan segala sesuatu, melainkan melambangkan gerak perubahan itu sendiri. Api senantiasa merubah apa saja yang dibakarnya menjadi abu dan asap, namun api tetaplah api yang sama. Karena itu api cocok untuk melambangkan kesatuan dalam perubahan (Bertens, 1990).
3.      Periode Filosofi Elea
Pada masa ini tokoh-tokoh yang terkenal, diawali dengan Xenopanes (580-470 SM) yang memiliki pemikiran bahwa “Tuhan hanya satu, tidak bergerak, tidak berubah-ubah, dan mengisi seluruh alam”. Menurut Xenopanes, Tuhan adalah “yang satu meliputi semuanya”, yakni tidak dilahirkan dan tidak memiliki akhir, artinya bersifat kekal. Ini berbeda dengan konsep dewa-dewi yang dilahirkan dan dapat mati. Ia tidak menyerupai makhluk duniawi mana pun, baik manusia ataupun binatang. Ia juga tidak memiliki organ seperti manusia namun mampu melihat, berfikir, dan mendengar. Ia juga senantiasa menetap di tempat yang sama namun menguasai segala sesuatu dengan pikirannya saja (Albert A. Avey. 19954, h. 13).
Selanjutnya, filusuf yang terkenal pemikirannya pada masa ini adalah Pythagoras (582-496 SM) yang dikenal sebagai ahli mistik dan ahli pikir dalam aliran mistik, ia terpengaruh orfisisme, dan percaya akan kepindahan jiwa dari makhuk sekarang ke makhluk yang akan datang. Pokok ajaran Pythagoras mengenai segala barang dan angka-angka. Menurutnya, “Alam ini tersusun dari angka-angka, di mana ada matematik, ada susunan, dan ada kesejahteraan. Pythagoras mencampuradukkan antara  mistik ilmu”.
4.      Periode Filosofi Alam II
Zaman ini dipengaruhi oleh pemikir-pemikir filsafat, seperti Empedokles, Anaxagoras, leukippos, dan Demokritos. Diawali dengan masa Empedokles (490-430 SM)yang banyak dipengaruhi oleh aliran Pythagoras dan terkenal dengan pemikirannya bahwa prinsip yang mengatur alam semesta tidaklah tunggal melainkan terdiri atas 4 anasir atau zat (Barnes, 2001). Memang saat itu ia belum mamaknai istilah anasir (stoikeia) tetapi menggunakan istilah akar (rizomata) .istilah analisir yang sebenarnya baru digunakan oleh Plato. Empat anasir tersebut adalah air, tanah, udara, dan api. Keempat anasir tersebut dapat dijumpai diseluruh alam semesta dan memiliki sifat-sifat saling berlawanan. Api dikaitkan dengan yang panas dan udara dengan yang dingin, sedangkan tanah dikaitkan dengan yang kering dan iar dikaitkan dengan yang basah. Salah satu kemajuan yang dicapai melalui pemikiran Empedokles adalah ketika ia menemukan udara adalah anasir sendiri. Para filusuf sebelumnya, misalnya Anaximenes, masih mencampuradukkan udara dengan kabut. Empedokles berpendapat bahwa semua anasir memiliki kuantitas yang sama. Anasir sendiri tidak dapat berubah, sehingga, misalnya, tanah tidak dapat menjadi air. Akan tetapi, semua benda yang ada di alam semesta terdiri dari empat anasir tersebut, walaupun berbeda komposisinya (Bartens, 1990). Contohnya, Empedokles menyatakan tulang tersusun dari dua bagian tanah, dua bagian air, dan empat bagian api. Suatu benda dapat berubah karena empat komposisi tersebut diubah (Daniel W. Graham, 1999).
5.      Periode Sofisme
Zaman ini, diawali Protogoras (481-411 SM) yang memiliki pemikiran bahwa “manusia adalah ukuran bagi segalanya, bagi yang ada karena adanya, bagi yang tidak karena adanya”. Pandangan berubah ubah menurut yang dipandang, pandangan bergerak senantiasa”. Di dalam buku yang berjudul Aletheia (kebenaran), Protagoras menyatakan bahwa “Manusia adalah ukuran bagi segala-galanya; untuk hal-hal yang ada sehingga mereka ada, dan untuk hal-hal yang tidak ada sehingga mereka tidak ada.” Manusia yang dimaksud di sini adalah manusia sebagai individu. Dengan demikian, pengenalan terhadap sesuatu bergantung pada individu yang merasakan sesuatu itu dengan panca indranya. Contoh bagi orang yang merasakan sakit, angin dapat terasa dingin. Sedangkan bagi orang yang sehat, angin itu terasa panas. Di sini kedua orang tersebut benar, sebab pengenalan terhadap angin berdasarkan keadaan fisik dan psikis orang-orang tersebut. Pandangan seperti ini dapat dikatakan relativisme,sebab kebenaran didasarkan kepada masing-masing orang yang merasakannya (Bertens, 1990:69-72).
Filusuf yang terkenal lagi pada zaman ini adalah Prodikos (430 SM) yang memiliki pemikiran bahwa “yang baik dan yang buruk bergantung pada keadaan” secara umum, zaman sofistik ini mengantarkan pikiran filosof ke gerbang filosofi dalam berpikir tentang pikiran”.
Menurut Prodikos, agama merupakan temuan manusia. Pada awalnya manusia memuja tenaga-tenaga alam sebagai dewa, misalnya matahari, bulan, sungai, danau, pohon, dan sebagainya. Contohnya adalah pemujaan kepada sungai nil di Mesir. Pada tahap berikutnya, orang yang menemukan keahlian tertentu dipuja sebagai dewa. Keahlian-keahlian tersebut misalnya pertanian, perkebunan anggur, dan pengolahan besi. Contoh dari tahap ini adalah para dewa yunani seperti Demeter, Dionnysos, dan Hephaistos, yang semuanya dikaitkan dengan keahlian-keahlian tertentu. Doa-doa yang dipanjatkan manusia dipandang sebagai hal yang berlebihan (Bartens, 1990).
6.      Periode Filosofi Klasik
Tokoh-tokoh filosofi klasik adalah filusuf yang tidak asing lagi di dunia filsafat. Mereka adalah Socrates, Plato, dan Aristoteles yang secara turun temurun dikenla sebagai guru dan murid.
Pemikiran Socrates (470-390 SM) dapat ditemukan dalam tulisan plato. Menurutnya “dalam mencari kebenaran, seseorang butuh orang lain”. Tokoh filosof ini adalah yang tertua diantara ketiganya, dan merupakan tokoh marginal, orang perbatasan, dimana di satu segi dapat dikategorikan ke dalam kelompok kaum sofis, tetapi dari sudut lain menentang golongan kaumnya sendiri. Ambivalensi status intelektual ini dipersulit lagi  kenyataan bahwa ia tidak menulis suatu karya apa pun, karena warisan alam pemikirannya hanya dapat dipelajari melalui corong murid dan sekaligus rekannya Plato, dalam setiap pembahasannya tentang problema yang sama dalam karya tulisannya. Tetapi Socrates memberikan kepada manusia metode bagaimana memperoleh pengetahuan yang baik atau tingkah laku yang baik. Metode tersebut diberi nama “socratic method” atau metode dialektif yang ditandai dengan ciri-ciri, sifat karakteristik sebagai berikut:
a.       Dialektik, artinya bahwa metode tersebut dilakukan oleh dua orang atau lebih yang pro dan kontra, atau yang memiliki perbedaan pendapat,
b.      Konfersasi, artinya bahwa metode dilakukan dalam bentuk percakapan atau komunikasi lisan.
c.       Tentatif dan provisional, artinya kebenaran yang dicari bersifat sementara tidak mutlak, dan merupakan alternatif yang terbuka untuk segala kemungkinan.
d.      Empiris dan induktif, artinya segala sesuatu yang dibicarakan dan cara penyelesainnya harus bersumber pada hal-hal yang empiris.
e.       Konsepsional, artinya metode ditujukan untuk tercapainya pengetahuan, pengertian dan konsep-konsep  yang lebih difinitif daripada sebelumnya.
Bagi Socrates pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang bersumber atau diperoleh melalui pembentukan konsep dan metode ketercapaiannya pengetahuan demikian itu adalah menggunakan metode dialektika di atas.
E.       Sejarah Pemikiran Filsafat Timur (Islam)
Sejarah pemikiran filsafat di daerah timur, atau secara lebih spesifik di dunia islam diawali dengan kemajuan yang dicapai dunia Islam dalam bidang pemikiran, terkait erat dengan upaya kaum intelektual menerjemahkan pemikiran filsafat yunani kedalam Bahasa Arab pada masa kekuasaan Bani Abbasiyah di Baghdad antara tahun 750-1250M. Pemikiran filsafat yunani ini akhirnya diadobsi oleh pemikir Islam dalam berbagai kajian, sehingga melahirkan berbagai macam aliran-aliran dalam Islam yang juga melahirkan filusuf- filusuf Islam.
     Namun demikian, terdapat beberapa sikap umat Islam yang berbeda terhadap filsafat, antara lain:
1.    Menolak pemikiran filsafat yunani; alasannya karena filsafat yunani bersifat spekulatif, mengutamakan teori, dan mengabaikan kenyataan;
2.    Menerima keseluruhan; alasannya bahwa filsafat yang diterjemahkan berkisar pada masalah ketuhanan, etika, dan ilmu jiwa yang berkaitandengna agama, terutama filsafat ketuhanan.
3.    Menerima sebagian dan menolak sebagian dengan alasan bahwa pemikiran filsafat yunani ada yang dapat diterima dan ada juga yang tidak dapat diterima.
Dalam filsafat Islam, terdapat beberapa konsepsi pemikiran Aliran-aliran dalam Islam, yakni aliran Khawarij, Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah, Syi’ah, dan Asy’ariyah.

F.       Perkembangan Filsafat di Indonesia
Sejarah perkembangan filsafat di Indonesia dimulai sejak negara ini memasuki peradapan neolitikum atau zaman batu baru, sekotar 3500 SM silam. Saat itu, pembahasan filsafat Indonesia masih seputar kehidupan tradisional para nenek moyang terdahulu, termasuk tentang ajaran adat istiadat  yang mengandung falsafah-falsafah itu mereka sendiri.
Baraulah sekitar tahun 1967, filsafat Indonesia menjadi ilmu pengetahuan yang dipelajari oleh masyarakat Indonesia. Bermula dari tulisan yang ditulis oleh seorang guru besar bernama M. Nasroen yang berisi tentang falsafah Indonesia, maka mulai sejak itu pendalaman teori ini semakin sering dilakukan. Dalam tulisan M Nasroe, disebutkan bahwa bangsa Indonesia terdir atas beragam kebudayaan yang berasal dari banyaknya suku budaya di negeri ini. Tiap-tiap kebudayaan tersebut tentunya memiliki falsafah masing-masing pula.
M. Nasroen juga mengatakan bahwa filsafat Indonesia berdasarkan pada falsafah negara itu sendiri, yaitu pancasila. Pancasila dijadikan pandangan hidup berbangsa dan bertanah air yang menyatukan keanekaragaman seluruh falsafah kebudayaan yang ada di Indonesia ini.
Seiring berjalannya waktu, pendapat M. Nasroen dalam tulisannya tersebut mendapat dukungan dari gagasan orang-orang yang memiliki pndangan yang sama dengannya. Seperti yang dikatakan oleh Sidi Gazalba dalam bukunya yang berjudul Sistematika Filsafat, bahwa kehidupan bangsa Indonesia bermula dari kehidupan para nenek moyang, mengakar, dan berlaku secara turun menurun, tanpa terputus. Jadi, pandangan hidup atau falsafah yang dianut para nenek moyang tersebut dilestarikan secara terus menerus kepada generasi selanjutnya. Itu sebabnya, mengapa Indonesia telah mengenal filsafat sejak beribu-ribu tahun yang silam.
Filsafah ketimuran yang berlaku di Indoneia selalu identik dengan kebudayaan daerah, terutama kebudayaan jawa. Kebudayaan jawa dianggap sebagai kebudayaan yang berperan dalam pelestarian nilai-nilai luhur. Istilah “bhineka tunggal ika”. “gemah lipah loh jinawi”, “tut wuri handayni” adalah istilah yang diadaptasi dari bahasa Sansekerta dari tanah jawa. Tidak hanya itu, filsafat ketimuran terkadang disampaikan tersirat dalam bentuk pertunjukan seperti wayang petruk, cerita rakyat, dan lain sebaginya.


G.      Sejarah Filsafat Pendidikan

Pada mulanya filsafat pendidikan adalah cara pendekatan terhadap masalah pendidikan yang biasa dilakukan di negara-negara Anglo Saxon. Di Amerika Serikat misalnya filsafat pendidikan dimulai dengan pengkajian terhadap beberapa aliran filsafat tertentu seperti pragmatisme, idealisme, realisme, eksistensialisme, dan lain sebagainya yang di akhiri dengan implikasinya ke dalam aspek-aspek pendidikan. Di Inggirs filsafat pendidikan dipusatkan pada prinsip-prinsip yang mendasar sekali dalam pendidikan, misalnya dalam tujuan pendidikan, tujuan kkurikulum, metoda belajar, oraganisasi pendidikan dan lain-lain.
     Filsafat pendidikan yang lahirdan menjadi bagian dari rumpun konsep ilmu pendidikan sebagai ilmu pengetahuan yang normatif, merupakan disiplin ilmu yang merumuskan kaidah-kaidah norma atau nilai yang akan menjadi ukuran tingkah laku manusia yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Dengan sendirinya ilmu ini berkaitan pula dengan ilmu pengetahuan yang normatif lainnya seperti sosiologi, kebudayaan, filsafat, agama yang menjadi sumber nilai atau norma hidup dan pendidikan yang sekaligus akan menentukan tingkah laku perbuatan manusia dalam kehidupan dan penghidupannya.
     Selanjutnya filsafat pendidikan yang lahir dari ilmu pendidikan sebagai ilmu pengetahuan yang praktis dikandung maksud bahwa tugas pendidikan sebagai aspek kebudayaan mempunyai tugas untuk menyalurkan nilai-nilai hidup serta melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai norma tingkah laku kepada subyek didik yang bersumber dari filsafat, kebudayaan dan agama yang berlaku di dalam masyarakat atau negara.
     Filsafat pendidikan merupakan tata pola pikir terhadap permasalahan di bidang pendidikan dan pengajaran yang senantiasa mempunyai hubungan dengan cabang-cabang ilmu pendidikan yang lain seperti sejarah pendidikan perbandingan, dan lain sebagainya yang kesemuanya diperlukan oleh pendidikan atau guru sebagai pengajar dalam bidang studi tertentu dan atau seorang ayah atau seorang ibu mengajarkan akhlakn keteladanan Rasullullah kepada putera-puterinya dalam keluarga. Dalam hal ini maka guru atau orang tua dalam melaksanakan pendidikan tadi merangkum antara teori pengetahuan dan filsafat yang terkandung dalam pelajaran yang diberikan.


BAB III
PENUTUP

Di bab ini akan membahas tentang Kesimpulan
A.    Kesimpulan
Filsafat yunani klasik merupakan awal dari permulaan pemikiran filsafat atau pembahasan masalah filsafat secara kulatif rasional, dan tidak irasional dogmatis. Filsafat yunani merupakan contoh ilustrasi pemikiran dan pembahsan masalah filsafat secara sistematis dan lengkap berlaku sampai sekarang. Pada dasarnya pemikir-pemikir filsafat saat ini merupakan komentator filsafat yunani klasik dan menyesuaikan dasar-dasar pemikiran tokoh klasik dengan tuntutan zaman dan perkembangan kebudayaan.
Pikiran dan rasionalitas manusia merupakan kemampuan unik yang membedakan manusia dan binatang. Kemampuan manusia berkomunikasi bukan sekedar pembeda manusia dan hewan, melainkan pencarian kebenaran, yang mengacu pada Al-Quran dan As-Sunnah, yang lebih komprehensif, di sini, terdapat perbedaan antara pemikiran filsafat Barat (Sekuler) dan pemikiran filsafar Timur (Islam).
Selama manusia bertanya tentang dunia, selama itu pula manusia diganggu oleh misteri karena sifat manusia selalu ingin tahu. Oleh karenanya, disini komunikasi sebagai sentral ilmu perilaku manusia. Semua ahli filsafat, baik filsafat Barat (Sekuler) maupun filsafat Timur (Islam) mengakui bahwa komunikasi merupakan kekuatan yang mengagumkan dalam mengubah manusia dan peradabannya.


DAFTAR RUJUKAN

Huda, M. A Y. 2010. Kajian Filosofis Otonomi Daerah Bidang Pendidikan. Malang: FIP UM.
Prasetya Tri. 1997. Filsafat Pendidikan. Bandung: CV. Pustaka Setia
Saifullah, Ali. 1982. Antara Filsafat dan Pendidikan: Pengantar Filsafat Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Syam, Nina. 2010. Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media

Tentang Manusia dan Impian

Tentang Manusia dan Impian Manusia pada dasarnya dilahirkan dari impian orang tuanya untuk mempunyai anak, dan  setelah itu dibesarkan...